Sabtu, 29 Agustus 2015

Buku Baru: Hati-hati dalam Berprasangka!



Salah satu kandungan al-Qur’an yang harus selalu kita perhatikan dengan sebaik-baiknya adalah terkait peritah dan larangan. Sebagaimana yang kita yakini sepenuhnya bahwa segala apa yang diperintahkan Allah melalui al-Qur’an selalu berujung pada kebaikan dan manfaat bagi kita sendiri. Sebaliknya, segala apa yang dilarang-Nya melalui ayat-ayatnya yang mulia ini pasti memiliki dampak buruk jika dilanggar dan diabaikan.
Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk memelihara interaksi yang baik dengan Allah, interaksi yang baik terhadap diri sendiri, dan juga interaksi yang baik sesama makhluk ciptaan-Nya termasuk sesama manusia.
Banyak sekali ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mengatur kehidupan sosial bermasyarakat, seperti perintah berderma kepada faqir-miskin, berbuat baik kepada orangtua, adab terhadap sesama, dan lain sebagainya. Satu di antaranya adalah ayat ke-12 dalam surah al-Hujurât berikut:
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ      ﭖ ﭗ ﭘ      ﭙ ﭚ ﭛﭜ    ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ  ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦ  ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫﭬ ﭭ ﭮﭯ ﭰ  ﭱ ﭲ  ﭳ ﭴ 
 “Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.” (QS. al-Hujurât [49]: 12)
 Ayat ini berisi larangan Allah kepada orang-orang beriman dari tiga hal membahayakan sebagai berikut:
1. Larangan berburuk sangka (sû azh-zhann) karena hal ini termasuk dosa besar
2. Larangan mencari-cari kesalahan orang (tajassus)
3. Larangan menggunjing (ghîbah)
 Larangan Allah ini disampaikan kepada orang-orang yang beriman, jadi siapa pun yang mengaku dan mengikrarkan diri sebagai orang yang beriman hendaknya dapat menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan tersebut. Dan bila terpaksa melakukan hal tersebut hendaknya bertaubat kepada Allah. Dimensi taubat adalah merenungi perbuatan dosa yang telah dilakukan dan menyesali, tidak akan melakukan perbuatan dosa yang serupa pada kesempatan yang lain, taubat akan mengganti perbuatan salah dengan perbuatan yang baik.
Berburuk sangka, mencari-cari kesalahan orang lain, mengumpat, mengghibah, menghasut, adalah perbuatan yang tercela, akhlâq al-madzmûmah. Suatu perilaku yang hendaknya dijauhi, disingkirkan bahkan dibuang jauh-jauh. Perilaku tersebut di samping merugikan orang yang bersangkutan, yang karenanya nama baiknya akan hilang, dikucilkan orang lain bahkan usahanya kadang mengalami kendala. Ternyata perbuatan tersebut juga merugikan diri sendiri. Dari segi ruhani berarti hatinya sakit dan harus diobati, karena bila tidak segera diobati akan menimbulkan penyakit-penyakit lainnya. Di samping itu, doa orang yang dianiaya adalah salah satu doa yang maqbûl. Perbuatan tersebut juga menyita waktu, tenaga dan pikiran sehingga kadang melalaikan perbuatan-perbuatan baik lainnya. Sekalipun orang tersebut senang melakukan amal perbuatan yang baik, namun dia akan menjadi orang yang muflish (bangkrut), karena amal ibadahnya berkurang dan digantikan dengan dosa dari orang yang difitnah, digunjing, dianiaya dan sebagainya. Bahkan pahala bisa jadi akan hilang sama sekali. Bila sudah demikian tiada harapan lagi masuk ke dalam surga Allah swt.
Ayat di atas dimulai dengan perintah menjauhi prasangka buruk atau larangan su'uzhan sebelum larangan tajassus (mencari-cari kesalahan orang lain) dan ghîbah (membicarakan keburukan orang lain) karena memang biasanya keduanya timbul dari buruk sangka itu sendiri. Orang yang berprasangka negatif terhadap orang lain biasanya tak akan puas sebelum mengintip-intip kesalahan dan keburukannya, bahkan tak berhenti sampai di situ, jika ia tidak berusaha mengatasinya, lisannya akan dengan mudah menyebar keburukan orang yang telah ia cari-cari keburukannya. Jika sudah seperti itu, ia sekali-kali tak akan bisa menarik kembali perkataan yang telah meresap ke telinga orang-orang yang telah mendengar perkataan ghibah darinya. Dan tak bisa dipungkiri, terkadang berita yang ia sebar akhirnya sampai pula ke telinga orang yang dighibahinya. Dari sinilah kemudian timbul pertengkaran,  permusuhan, rasa dendam yang tak henti bahkan pertumpahan darah jika skalanya menyangkut kempulan orang atau kelompok masyarakat dalam lingkungan yang lebih luas. Bukan tidak mungkin, peselisihan yang tadinya hanya terjadi antar individu menjadi permusuhan antar keluarga, antar kelompok, suku, daerah,  bahkan menjadi konflik antar negara. Semuanya berpangkal dari satu sebab kecil yang timbul dari setitik noda di hati dan pikiran, yaitu prasangka buruk.
Jika coba kita simpulkan, semuanya ternyata kembali kepada diri kita sendiri. Di sinilah pentingnya kita mengelola hati, menjaga prasangka dan mengarahkannya kepada hal-hal yang positif dan bermanfaat bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain. Jika kita telah berbicara bahwa hati yang kotor begitu besar bahaya dan dampak yang dapat ditimbulkan darinya bahkan menyangkut orang lain dan masyarakat secara luas, begitupun hati dan pikiran yang bersih juga membawa manfaat yang sangat besar pula dalam mewujudkan kerukunan, persaudaraan dan perdamaian antar individu, bahkan antar kelompok manusia.
Buku ini mencoba memberikan sebuah pelajaran betapa bahayanya buruk sangka dan hal-hal yang terkadang mengiringinya, seperti tajassus dan ghîbah. Sekaligus mengungkap bahwa ada yang lebih baik dan lebih dahsyat pengaruh kebaikannya, membawa ketenangan dan perdamaian, mempererat persaudaraan dan kerukunan antar sesama, seperti husnuzhan dan menutup aib sesama di mana selain manfaatnya yang begitu besar bagi kehidupan sosial, juga pahala yang luar biasa bagi siapa yang senatiasa mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar