Sabtu, 06 September 2014

Menumbuhkan Kerinduan pada al-Qur'an

Menumbuhkan Kerinduan pada al-Qur'an
Sebuah anugerah yang tak ternilai harganya tatkala kita mampu berinteraksi secara lebih dekat dengan al-Quran, karena kedekatan kita padanya menuntun kita kepada kebahagiaan yang tak terhingga, baik itu di dunia maupun di akhirat kelak. Meskipun tentu hal ini tidaklah mudah, namun dengan kemampuan yang Allah berikan kepada hambanya, termasuk kepada kita, justru mampu menjadikan manusia untuk menjadi keluarga pilihan Allah dengan menjadi Ahlul Qur’an, dan hal ini tak akan terwujud tanpa adanya kesungguhan dan modal keimanan yang kuat. Interaksi yang baik dengan al-Qur'an sejatinya tak akan tercipta tanpa didahului dengan kerinduan kepadanya, rindu keagungan dan kemuliaannya, serta rindu petunjuk dan bimbingannya.
Banyak pula hadits-hadits Nabi yang jika kita renungi lebih mendalam mengajak kita untuk merindukan al-Qur'an. Seringkali Rasul menerangkan keutamaan al-Qur'an berikut para pembaca, penghafal dan juga mereka yang mengamalkan al-Qur'an, di lain kesempatan, Rasul juga menjelaskan bagaimana al-Qur'an mampu memberikan syafa'at kepada manusia di hari kiamat nanti.
Berikut inilah beberapa hal yang patut kita renungkan demi menumbuhkan rasa rindu kepada al-Qur'an:
Pertama, yakinkah kita akan keniscayaan Hari Kiamat? Hari yang sangat sulit bagi manusia di mana kita sangat membutuhkan pertolongan? Sedangkan al-Qur’an dijanjikan oleh Rasulullah mampu memberikan syafa’at (pertolongan) bagi oranng-orang yang yang ber-shuhbah (bersahabat) dengannya. Siapa yang menjamin diri kita akan mendapat pertolongan al-Qur’an tersebut? Sedangkan, ketika kita berupaya untuk semakin dekat dengan Al-Qur’an, perasaan rojaa’ (harapan) dan khauf (takut) akan membuat kita berpikir, benarkah kita akan ditolong oleh al-Qur’an pada hari pengadilan nanti? Urgensi hal ini digambarkan oleh sebuah hadits: “Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat menjadi pemberi syafa’at bagi orang-orang yang bersahabat dengannya.” (HR Bukhari)
Kedua, Adakah perasaan iri (ghibthah) dalam diri kita ketika melihat saudara kita memiliki kemampuan berinteraksi dengan al-Qur'an dengan lebih baik? Ataukah diri kita hanya iri dan menginginkan sesuatu yang terkait dengan harta dunia yang dimiliki oleh saudara dan teman kita, tetapi untuk al-Qur’an hati kita tenang-tenang saja? Kondisi ini sangat mungkin mengindikasikan lemahnya jiwa Qur'ani dalam diri kita. Inilah salah satu hal yang mendorong para sahabat untuk berkompetisi mencapai kemampuan berinteraksi dengan al-Quran yang baik. Inilah salah satu hal yang diterangkan oleh sabda Rasulullah saw untuk menumbuhkan kompetisi amal shalih dan al-Qur’an bagi orang-orang yang beriman. “Tidak boleh iri kecuali dalam dua kenikmatan; seseorang yang diberi (kemampuan lebih) al-Qur’an oleh Allah kemudian dia membacanya sepanjang malam dan siang, dan orang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia membelanjakannya di jalan Allah sepanjang malam dan siang” (HR. Bukhari & Muslim)
Ketiga, Sadarkah kita bahwa kualitas keimanan kita diukur oleh Rasulullah dengan sejauh dan sebaik apa interaksi kita dengan al-Qur’an? Ataukah kita tidak peduli dengan kualitas hubungan kita dengan pedoman hidup kita tersebut? Sehingga kita tidak pernah merasa sedih jika sebulan kita tidak khatam al-Qur’an. Tidak sedih jika kita tidak memiliki simpanan hafalan ayat-ayat al-Qur’an. Tidak sedih dengan ketidaktahuan kita terhadap kandungan ayat-ayat indahnya. Sehingga dikhawatirkan kita termasuk golongan yang meninggalkan al-Qur’an (QS. 26:30). Rasulullah mengklasifikasi manusia berdasarkan interaksinya dengan al-Qur'an menjadi empat golongan. “Perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an seperti buah Utrujjah; aromanya harum dan rasanya lezat. Perumpamaan orang beriman yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah Tamroh; tidak memiliki aroma namun rasanya manis. Perumpamaan orang munafiq yang membaca al-Qur’an seperti buah Raihanah; aromanya harum namun rasanya pahit. Perumpamaan orang munafiq yang tidak membaca al-Qur’an seperti buah Hanzhalah; tidak ada baunya dan rasanya pahit.” (HR. Bukhari & Muslim)
Keempat, Pernahkah kita menghitung-hitung berapa banyak informasi keduniaan yang tersimpan dalam otak kita dibanding dengan informasi tentang al-Qur'an? Jika informasi tentang kalam Allah tersebut lebih banyak yang ada dalam kepala kita maka kita patut bersyukur kepada Allah. Jika sebaliknya, kita perlu beristighfar dan mengevaluasi diri kita. Kita perlu berjuang dalam rangka kembali kepada al-Qur’an dan menghindarkan diri kita dari kecaman Allah seperti dalam QS. Ar-Rum: 7 “Mereka tahunya hanya urusan-urusan keduniaan saja dan tidak tahu urusan akhirat dan melupakannya.” Inilah alasan utama mengapa generasi emas pendahulu kita selalu menjadikan al-Qur’an sebagai materi pertama yang harus dipelajari daripada ilmu-ilmu lain. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam meletakkan prioritas ilmu pengetahuan yang harus dikuasai.
Dari beberapa poin di atas diharapkan kita mampu memacu energi penggerak dan menanamkan kesadaran yang kuat dalam jiwa. Inspirasi diatas sepatutnya mampu menyemai kembali kerinduan kita terhadap untaian ayat-ayat cinta dari Allah. Sehingga mulai saat ini, kita akan semakin menikmati kebersamaan kita dengan al-Qur’an bahkan mendorong kita untuk mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an dalam kehidupan pribadi kita, lingkungan kita dari yang paling kecil sampai kepada sebuah negara, dan akhirnya spirit al-Qur’an menjadi sinar penunjuk peradaban manusia zaman ini. Semoga kita terpilih oleh Allah sebagai keluarga Allah yang diistimewakan-Nya baik di dunia maupun di akhirat nanti. Amin!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar