Menumbuhkan
Kerinduan pada al-Qur'an
Sebuah
anugerah yang tak ternilai harganya tatkala kita mampu berinteraksi secara
lebih dekat dengan al-Quran, karena kedekatan kita padanya menuntun kita kepada
kebahagiaan yang tak terhingga, baik itu di dunia maupun di akhirat kelak.
Meskipun tentu hal ini tidaklah mudah, namun dengan kemampuan yang Allah
berikan kepada hambanya, termasuk kepada kita, justru mampu menjadikan manusia
untuk menjadi keluarga pilihan Allah dengan menjadi Ahlul Qur’an, dan
hal ini tak akan terwujud tanpa adanya kesungguhan dan modal keimanan yang
kuat. Interaksi yang baik dengan al-Qur'an sejatinya tak akan tercipta tanpa
didahului dengan kerinduan kepadanya, rindu keagungan dan kemuliaannya, serta
rindu petunjuk dan bimbingannya.
Banyak
pula hadits-hadits Nabi yang jika kita renungi lebih mendalam mengajak kita
untuk merindukan al-Qur'an. Seringkali Rasul menerangkan keutamaan al-Qur'an
berikut para pembaca, penghafal dan juga mereka yang mengamalkan al-Qur'an, di
lain kesempatan, Rasul juga menjelaskan bagaimana al-Qur'an mampu memberikan syafa'at
kepada manusia di hari kiamat nanti.
Berikut
inilah beberapa hal yang patut kita renungkan demi menumbuhkan rasa rindu
kepada al-Qur'an:
Pertama,
yakinkah kita akan keniscayaan Hari Kiamat? Hari yang sangat sulit bagi manusia
di mana kita sangat membutuhkan pertolongan? Sedangkan al-Qur’an dijanjikan
oleh Rasulullah mampu memberikan syafa’at (pertolongan) bagi
oranng-orang yang yang ber-shuhbah (bersahabat) dengannya. Siapa yang menjamin
diri kita akan mendapat pertolongan al-Qur’an tersebut? Sedangkan, ketika kita
berupaya untuk semakin dekat dengan Al-Qur’an, perasaan rojaa’ (harapan)
dan khauf (takut) akan membuat kita berpikir, benarkah kita akan
ditolong oleh al-Qur’an pada hari pengadilan nanti? Urgensi hal ini digambarkan
oleh sebuah hadits: “Bacalah al-Qur’an, sesungguhnya ia akan datang pada
hari kiamat menjadi pemberi syafa’at bagi orang-orang yang bersahabat dengannya.”
(HR Bukhari)
Kedua,
Adakah perasaan iri (ghibthah) dalam diri kita ketika melihat saudara
kita memiliki kemampuan berinteraksi dengan al-Qur'an dengan lebih baik?
Ataukah diri kita hanya iri dan menginginkan sesuatu yang terkait dengan harta
dunia yang dimiliki oleh saudara dan teman kita, tetapi untuk al-Qur’an hati
kita tenang-tenang saja? Kondisi ini sangat mungkin mengindikasikan lemahnya
jiwa Qur'ani dalam diri kita. Inilah salah satu hal yang mendorong para sahabat
untuk berkompetisi mencapai kemampuan berinteraksi dengan al-Quran yang baik.
Inilah salah satu hal yang diterangkan oleh sabda Rasulullah saw untuk
menumbuhkan kompetisi amal shalih dan al-Qur’an bagi orang-orang yang beriman. “Tidak
boleh iri kecuali dalam dua kenikmatan; seseorang yang diberi (kemampuan lebih)
al-Qur’an oleh Allah kemudian dia membacanya sepanjang malam dan siang, dan
orang yang diberi harta oleh Allah, lalu ia membelanjakannya di jalan Allah
sepanjang malam dan siang” (HR. Bukhari & Muslim)
Ketiga,
Sadarkah kita bahwa kualitas keimanan kita diukur oleh Rasulullah dengan sejauh
dan sebaik apa interaksi kita dengan al-Qur’an? Ataukah kita tidak peduli
dengan kualitas hubungan kita dengan pedoman hidup kita tersebut? Sehingga kita
tidak pernah merasa sedih jika sebulan kita tidak khatam al-Qur’an. Tidak sedih
jika kita tidak memiliki simpanan hafalan ayat-ayat al-Qur’an. Tidak sedih
dengan ketidaktahuan kita terhadap kandungan ayat-ayat indahnya. Sehingga
dikhawatirkan kita termasuk golongan yang meninggalkan al-Qur’an (QS. 26:30).
Rasulullah mengklasifikasi manusia berdasarkan interaksinya dengan al-Qur'an
menjadi empat golongan. “Perumpamaan orang yang membaca al-Qur’an seperti
buah Utrujjah; aromanya harum dan rasanya lezat. Perumpamaan orang beriman yang
tidak membaca al-Qur’an seperti buah Tamroh; tidak memiliki aroma namun rasanya
manis. Perumpamaan orang munafiq yang membaca al-Qur’an seperti buah Raihanah;
aromanya harum namun rasanya pahit. Perumpamaan orang munafiq yang tidak
membaca al-Qur’an seperti buah Hanzhalah; tidak ada baunya dan rasanya pahit.”
(HR. Bukhari & Muslim)
Keempat,
Pernahkah kita menghitung-hitung berapa banyak informasi keduniaan yang tersimpan
dalam otak kita dibanding dengan informasi tentang al-Qur'an? Jika informasi
tentang kalam Allah tersebut lebih banyak yang ada dalam kepala kita maka kita
patut bersyukur kepada Allah. Jika sebaliknya, kita perlu beristighfar dan
mengevaluasi diri kita. Kita perlu berjuang dalam rangka kembali kepada
al-Qur’an dan menghindarkan diri kita dari kecaman Allah seperti dalam QS.
Ar-Rum: 7 “Mereka tahunya hanya urusan-urusan keduniaan saja dan tidak tahu
urusan akhirat dan melupakannya.” Inilah alasan utama mengapa generasi emas
pendahulu kita selalu menjadikan al-Qur’an sebagai materi pertama yang harus
dipelajari daripada ilmu-ilmu lain. Agar tidak terjadi kekeliruan dalam
meletakkan prioritas ilmu pengetahuan yang harus dikuasai.
Dari
beberapa poin di atas diharapkan kita mampu memacu energi penggerak dan
menanamkan kesadaran yang kuat dalam jiwa. Inspirasi diatas sepatutnya mampu
menyemai kembali kerinduan kita terhadap untaian ayat-ayat cinta dari Allah.
Sehingga mulai saat ini, kita akan semakin menikmati kebersamaan kita dengan
al-Qur’an bahkan mendorong kita untuk mengaplikasikan nilai-nilai al-Qur’an
dalam kehidupan pribadi kita, lingkungan kita dari yang paling kecil sampai
kepada sebuah negara, dan akhirnya spirit al-Qur’an menjadi sinar penunjuk peradaban
manusia zaman ini. Semoga kita terpilih oleh Allah sebagai keluarga Allah yang
diistimewakan-Nya baik di dunia maupun di akhirat nanti. Amin!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar